Kamis, 21 Mei 2020

Rapid Test Negatif Tak Jamin Bebas Corona, Begini Penjelasannya

Rapid test untuk virus corona COVID-19 mulai dilakukan di sejumlah titik. Terkait akurasi, pemerintah mengingatkan bahwa hasil tes negatif pada rapid test tak menjamin bebas corona.
"Hasil negatif dari rapid test ini tidak memberi jaminan kepada yang bersangkutan tidak sedang sakit (terinfeksi Corona)," kata juru bicara pemerintah terkait penanganan virus Corona, Achmad Yurianto dalam siaran teleconference di akun YouTube BNPB, Sabtu (21/3/2020).

Yuri menjelaskan hal itu bisa terjadi pada seseorang yang terinfeksi virus Corona di bawah enam sampai tujuh hari. Di fase tersebut, respons imunitas seseorang yang dinyatakan positif Corona, lanjut Yuri, belum terlihat.

Yuri mengatakan untuk kasus tersebut, pihaknya akan melakukan rapid test ulang dalam waktu enam hingga tujuh hari berikutnya. Oleh sebab itu, Yuri mengatakan kepada tiap orang yang dinyatakan negatif dari hasil rapid test tetap harus melakukan social distancing.

"Kita menginginkan siapa pun meski dalam pemeriksaannya negatif tidak kemudian merasa dirinya sehat. Tetap harus melakukan pembatasan. Tetap mengatur jarak dan berkomunikasi secara sosial," kata Yuri.

"Oleh karena itu, pahami betul hasil negatif tidak memberikan garansi jika tidak sedang terinfeksi COVID-19," sambungnya.

"Oleh karena itu, sekalipun hasilnya negatif, tidak boleh menganggap bahwa dirinya betul-betul sehat dan terbebas dari Coronavirus Disease 19. Bisa saja kalau saat ini negatif, bisa saja dengan ketidakhati-hatian bisa saja tertular orang yang positif," sambungnya.

Studi Sebut Pasien Sembuh Corona Punya 'Luka Imunologis', Apa Itu?

Para ilmuwan mengatakan pasien yang sembuh dari infeksi paru-paru parah seperti COVID-19 ini bisa mengalami 'immunlogical scars' atau bekas luka imunologis. Menurut mereka, hal ini termasuk respons tubuh manusia, tetapi berpotensi meningkatkan risiko tertular pneumonia, penyakit komorbid COVID-19 yang mematikan.
Berdasarkan studi yang dilakukan pada manusia dan tikus, respons imun tubuh mati sementara waktu setelah mengalami infeksi yang parah. Ini membuat pasien yang mengalaminya lebih rentan terhadap penyakit yang berasal dari bakteri atau virus baru.

Tim peneliti dari Peter Doherty Institute untuk Infeksi dan Kekebalan Tubuh Universitas Melbourne dan Rumah Sakit Universitas Nantes, menemukan bahwa sel-sel yang membentuk garis pertahanan pertama sistem kekebalan tubuh, yaitu makrofag akan lumpuh setelah infeksi parah terjadi.

Dikutip dari AFP, makrofag bertugas untuk menetralkan bakteri dan meningkatkan alarm internal yang mengirimkan sel kekebalan ke area yang terinfeksi. Jika infeksi sudah diatasi, makrofag ini akan menetralkan tubuh kembali seperti semula.

Namun, pada pasien yang sudah mengalami infeksi parah seperti virus Corona ini, makrofag tersebut tidak aktif. Itu bisa meningkatkan risiko pasien tertular infeksi sekunder yang fatal, seperti pneumonia.

Sebagian besar kematian pasien virus Corona COVID-19 terjadi karena badai sitokin, yaitu proses respons imun tubuh yang bekerja tanpa kendali hingga menyebabkan peradangan akut hingga kematian.

"Kami percaya dengan mengisi ulang sistem kekebalan bisa mencegahnya dari kelumpuhan akibat infeksi yang parah. Sehingga pasien bisa melindungi diri mereka dari infeksi sekunder, tanpa menggunakan antibiotik," kata Jose Villadangos dari Peter Doherty Institute.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar