Pemkot Solo mendata ada 75 orang dalam pemantauan (ODP) terkait virus Corona (COVID-19). Namun secara epidemiologi, ada 2.795 orang di Solo yang berisiko tertular virus dari Wuhan, China Itu.
"Jadi kasus ODP kami hingga saat ini yang bisa kami deteksi itu 75. Yang potensi risiko tertular, hitung-hitungan epidemologi ketemu 2.795 orang," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo, Siti Wahyuningsih di Balai Kota, Selasa (24/3/2020).
Jumlah ODP tersebut merupakan orang-orang yang sempat melakukan kontak erat dengan pasien positif Corona. Karena belum menunjukkan gejala sakit, mereka hanya diminta mengkarantina diri di rumah.
Sementara jumlah 2 ribuan orang merupakan hasil penelusuran atau tracing lebih lanjut dari pasien positif maupun Pasien dalam Pengawasan (PDP). Warga Solo yang mengalami gejala batuk, pilek, demam ataupun sesak napas juga diminta tinggal di rumah meskipun tidak berkontak dengan PDP dan positif.
"Manusia itu kan punya hubungan sosial. Misal ini kasus 1 ketemu siapa, ini punya keluarga, keluarga ini mungkin juga sudah sosialisasi dengan siapa. Ini yang harus selalu kita cari baik yang berbasis masyarakat ataupun faskes," ujar dia.
Jumlah ribuan orang itu, menurutnya, masih akan dicek ulang. Ning, sapaannya, juga akan memisahkan data antara warga Solo dengan luar Solo.
"Ini laporannya harus saya benahi lagi karena sepertinya belum optimal. Sehingga nanti kelihatan berapa yang Solo dan berapa luar Solo," ujar Ning.
DKK mendata ada 19 orang PDP dan 6 pasien positif COVID-19 yang dirawat di rumah sakit Solo. Dari jumlah itu, ada 4 PDP asal Solo dan 3 pasien positif asal Solo.
"Jadi dari 25 orang yang dirawat di rumah sakit Solo, ada 7 orang yang merupakan warga Solo. Sisanya orang luar Solo," katanya.
Ning mengingatkan agar masyarakat tidak panik namun selalu waspada. Dia meminta seluruh masyarakat menjauhi keramaian, menerapkan social distancing, rajin cuci tangan, berolahraga dan makan makanan bergizi.
"Untuk ODP, karantina itu dipatuhi, menahan 14 hari untuk kepentingan diri sendiri dan kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Karena kalau bandel rantainya semakin panjang," tutupnya.
Jokowi Sarankan Physical Distancing, Apa Bedanya dengan Social Distancing?
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyebut physical distancing jadi cara tepat mencegah penularan virus corona COVID-19 di Indonesia. Sebelumnya yang ramai dibicarakan adalah social distancing. Memang apa sih bedanya?
"Di negara kita memang yang paling pas adalah physical distancing. Menjaga jarak aman, itu yang paling penting," tutur Jokowi saat memberikan pengarahan kepada Gubernur se-Indonesia yang disiarkan lewat YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (24/3/2020).
Istilah social distancing memang awalnya digunakan oleh beberapa ahli sebagai sebutan upaya menjaga jarak dengan orang lain. Namun belakangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berusaha mengubah istilah tersebut dengan physical distancing sehingga tidak menimbulkan kerancuan di antara masyarakat.
"Kita awalnya mulai dengan istilah 'social distancing' dan saya pikir beberapa orang tidak begitu mengerti artinya. Ada kekhawatiran hal ini menyebabkan isolasi sosial," kata ahli penyakit infeksi Dr Jeff Kwong dari University of Toronto.
"Jadi kami pikir mungkin istilah yang lebih tepat adalah 'physical distancing' karena memang pada intinya adalah bagaimana kita harus jauh secara fisik, namun dekat secara sosial," lanjutnya seperti dikutip dari Global News, Selasa (24/3/2020).
Istilah social distancing dikhawatirkan dianggap juga sebagai upaya untuk memutus atau menjaga jarak hubungan sosial. Hal tersebut justru berbahaya karena isolasi sosial malah bisa berdampak buruk untuk kesehatan mental yang kemudian berdampak pada kebugaran fisik.
WHO menyebut sudah banyak negara yang mengikuti anjuran ini. Beberapa negara bahkan memakai anjuran ini sebagai solusi untuk atasi virus corona.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar