Wabah virus Corona yang tak mereda di Indonesia membuat banyak masyarakat menjadi parno (paranoid) atas status kesehatan mereka. Bahkan banyak yang akhirnya membeli rapid test yang dijual di lapak online untuk mengetes diri mereka, yang ternyata lebih banyak dampak negatifnya.
Seperti yang diketahui, rapid test adalah screening awal untuk melihat ada atau tidaknya antibodi yang terbentuk setelah terpapar virus, dalam hal ini COVID-19. Caranya adalah dengan mengecek sampel darah yang diambil di ujung jari.
Meski prosedurnya terlihat mudah, namun tidak semua orang bisa mengecek sendiri. Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME) Prof Amin Soebandrio mengatakan yang harus melakukan prosedur rapid test adalah petugas kesehatan.
"Sebaiknya yang melakukan itu adalah petugas kesehatan karena mereka akan mencatat orang ini tinggalnya di mana, hasilnya apa. Kalau negatif berarti harus diulang lagi dalam beberapa hari kemudian untuk memastikan. Kalau positif diuji kembali dengan PCR (Polymerase Chain Reaction)," katanya kepada detikcom melalui sambungan telepon, Rabu (15/4/2020).
Belum lagi jika kit rapid test yang dibeli tidak diakui kualitasnya. Hasil false negatif tentunya akan lebih besar.
"Harus memastikan kit yang dibeli kualitasnya diakui karena banyak sekali kit yang ditawarkan, lebih dari 10 merek, tidak semuanya di approve di negaranya sendiri. Sebab banyak yang hanya berupaya menghasilkan kit untuk dijual," terangnya.
Hal ini senada dengan penjelasan Kepala BNPB (Badan Nasional Penganggulangan Bencana) Doni Monardo yang menyebut meski pemerintah telah mendistribusi 500 ribu unit alat rapid test, tidak semuanya negatif. Maka dari itu saat ini pemerintah lebih mendatangkan test PCR. Bahkan ada kit rapid test yang didatangkan di Indonesia tetapi ditolak negara lain.
"Jadi tetap kita lakukan rapid test ini. Hanya memang perlu konsekuensi. Biasanya tidak cukup satu kali untuk rapid test ini. Dan juga beberapa ada yang diperiksa dengan rapid test itu negatif, setelah diperiksa dengan PCR positif. Ada juga sebaliknya, ketika diperiksa menggunakan rapid test hasilnya positif, ketika diperiksa oleh PCR negatif. Jadi ini juga menjadi persoalan," papar Doni.
Mainan Seks Laris Manis di Tengah Lockdown Pandemi Corona
Di beberapa negara, mainan seks mulai banyak dicari. Ahli menyebut kemungkinan karena orang-orang ingin mencoba hal baru di tengah lockdown karena pandemi virus Corona COVID-19.
Dikutip dari Reuters, para penjual mainan seks di Kolombia mengalami peningkatan permintaan bahkan sampai 140 persen. Penjual di Denmark dan Inggris juga melaporkan hal yang sama meski angka kenaikannya bervariasi.
"Orang-orang sekarang punya lebih banyak waktu di rumah. Ada yang bersama pasangan atau sendiri, dan mereka membutuhkan sesuatu untuk bersenang-senang mengisi waktu luangnya," kata salah satu penjual mainan seks, Gerson Monje.
Ahli psikologi Dr Carolina Guzman mengatakan kemungkinan mainan seks dicari karena dapat membantu menghilangkan kebosanan di masa sulit ini. Aktivitas seks jadi hal yang disarankan karena bisa menjaga imun tubuh dengan menjauhkan stres.
"Jadi ini waktu yang tepat bagi mereka memuaskan keingintahuannya dan memahami bahwa penggunaan produk-produk tersebut adalah hal yang baik," kata Dr Carolina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar