Vitamin C memang diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Terlebih saat ini kekebalan tubuh sangat diperlukan agar kita tidak mudah terkena penyakit seperti virus Corona COVID-19.
Dikutip dari Asia One, seorang ahli gizi bernama Yan Yin Phoi mengatakan setiap orang memiliki kebutuhan vitamin C yang berbeda-beda dalam setiap harinya.
"Untuk orang dewasa berusia di atas 19 tahun, pria membutuhkan 105 miligram, sedangkan wanita membutuhkan 85 miligram vitamin C sehari," jelas Yan Yin.
"Vitamin C berperan penting dalam merespon kekebalan tubuh agar kuat menghadapi patogen seperti bakteri, virus dan mikroorganisme penyebab penyakit lainnya," lanjutnya.
Yan yin juga menjelaskan meski umumnya vitamin C tidak akan beracun jika dikonsumsi melebihi dosis yang dibutuhkan dalam sehari, tetapi alangkah baiknya untuk tidak dimakan secara berlebihan.
"Karena beberapa orang mungkin akan mengalami mual, kram perut, dan diare jika melebihi batas toleransi untuk mengonsumsi vitamin C yaitu 2.000 miligram per hari," pungkasnya.
Sering Habis di Lab, Ini Fungsi Reagen Tes Corona
Institute of Tropical Disesase (ITD) Universitas Airlangga kehabisan kit reagen ekstraksi Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Melalui surat edaran yang beredar, pihaknya telah memesan kit reagen sejak 24 Maret 2020 namun hingga kini belum tiba.
"Iya saat ini kami tidak bisa melakukan pemeriksaan karena kehabisan kita reagen. Di BBLK juga sama. Bahkan di sana lebih dulu kehabisan kit reagen," kata Jubir Tim Satgas Corona RS Unair, dr Alfian Nur Rosyid SpP saat dihubungi detikcom baru-baru ini.
Reagen adalah ekstraksi yang digunakan dalam pengecekan spesimen. Reagen berisi sejumlah senyawa kimia untuk mendeteksi SARS-CoV-2, virus penyebab penyakit COVID-19.
"Reagen itu bahan kimia yang kalau dicampur-campur akan menghasilkan reaksi yang dipakai untuk mendeteksi virus Corona. Kalau reagennya PCR berarti bahan kimia yang dibutuhkan untuk bisa mendeteksi virus Corona yang ada di sampel swab," kata Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME) Prof Amin Soebandrio, Kamis (23/4/2020).
Karena SARS-CoV-2 adalah virus berbasis RNA (Ribonucleic acid), yang berarti genomnya tidak berdasarkan DNA (Deoxyribonucleic acid), mendeteksi virus bergantung pada kit reagen untuk mengubah genom virus yang tadinya RNA menjadi DNA. Kemudian setelah itu melakukan deteksi dengan PCR (polymerase chain reaction).
"Satu kit yang sudah jadi, reagennya ada beberapa jenis. Isinya bermacam-macam mulai dari enzim khusus sampai bahan kimia (lainnya)," tambahnya.
Pengujian virus Corona dengan reagen disebutkan oleh banyak ahli di dunia memakan proses yang sangat rumit dan membutuhkan banyak komponen sintetik yang berbeda. Keberhasilan pendeteksian juga bergantung dari seberapa baik petugas kesehatan mengambil swab yang berasal dari hidung atau tenggorokan pasien.
Satu Pasien Virus Corona Alami 'Gastro Coronavirus', Apa Itu?
Saat seseorang terinfeksi virus Corona COVID-19, biasanya muncul dengan gejala seperti demam, batuk, dan sesak napas. Tetapi, ada satu pasien mengalami gejala yang jarang dirasakan pasien COVID-19 dan menyerang sistem pencernaan atau disebut sebagai 'gastro coronavirus'.
Pasien COVID-19 tersebut, Dr Fern Riddell, merasakan gejala seperti orang keracunan makanan. Sejarawan sekaligus penulis asal Inggris ini menghabiskan waktu selama 30 hari untuk melawan virus dengan rasa sakit yang menyakitkan di perutnya.
"Halo, saya sedang menjalani pengobatan virus Corona di rumah sakit, dan selama 26 hari terakhir ini menjadi yang paling menyakitkan dalam hidup saya," tulisnya dalam Twitter yang dikutip dari Daily Star.
Awalnya, ia merasa sangat beruntung karena tidak memiliki gejala umum virus Corona pada pernapasannya. Tapi, gejala yang dialaminya sangat mengganggu di bagian perut terutama lambung. Namun, selama 10 hari terakhir, kondisi kesehatannya semakin menurun.
"Rasanya seperti keracunan. Seluruh tubuhku bergetar, sakit, mengalami dehidrasi serius (diatasi dengan 6 liter air sehari yang ditambah dengan oralit), mual yang luar biasa, diare parah, dan kelelahan," jelasnya.
"Sampai beberapa hari terakhir, saya terhidrasi dengan baik dan tidak perlu minum obat-obatan lain lagi. Tapi, saya masih mengalami masalah perut dan sudah berjalan selama 23 hari setelah pertama rasa ini muncul," imbuh Dr Riddell.
Menurut studi yang diterbitkan dalam American Journal of Gastroenterology, gejala gastro coronavirus ini muncul sebelum gejala lain seperti demam dan batuk. Penelitian ini juga mengatakan bahwa pasien yang memiliki gejala pencernaan tersebut, seperti diare memiliki risiko kematian lebih tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar