Senin, 24 Februari 2020

Naik Kereta Peluru di Taiwan, Bikin Jalan-jalan Makin Gampang

Tak hanya Jepang, Taiwan juga punya kereta peluru. Bepergian ke berbagai penjuru Taiwan pun jadi lebih mudah dan cepat sampai tujuan.

Taiwan High Speed Rail (THSR) menjadi salah satu pilihan transportasi buat wisatawan yang ingin bepergian antar daerah di Taiwan. Jalur kereta cepat atau kereta peluru ini panjangnya sekitar 345 km, dari Taipei di utara Taiwan hingga Kaohsiung di sisi selatan.

Bentuk kereta peluru ini mirip seperti Shinkansen di Jepang. Warnanya tampak didominasi putih dan oranye.

Senin (18/2/2019) detikTravel berkesempatan menjajal THSR. Saya bersama rombongan media dari Jakarta, berangkat dari Stasiun Taoyuan THSR di Taoyuan menuju Stasiun Zuoying di Kaohsiung, untuk selanjutnya ke Pingtung meliput Taiwan Lantern Festival 2019.

Kereta ini memiliki 12 gerbong penumpang. Kami duduk di gerbong 2 sesuai nomor kursi yang tertera pada tiket. Di THSR memang ada gerbong dengan kursi yang dipilih sendiri saat membeli tiket, ada pula yang bebas. Mulai gerbong 10-12 khusus buat tiket non reserved seat atau tanpa nomor tempat duduk. Pola begini, mirip di Jepang.

Suasana gerbong kereta cepat saat itu cukup ramai, hampir semua kursi telah terisi penumpang. Tempat duduk di kelas ekonomi berjejer 2 dan 3 kursi dalam satu baris. Kursinya nyaman dan ruang kakinya cukup lega.

Buat traveler yang membawa koper besar tak perlu ribet karena tersedia tempat untuk meletakkannya di pojok gerbong. Sementara untuk barang bawaan yang lebih kecil bisa diletakkan di tempat bagasi pada sisi atas kabin atau di bawah kursi.

Kereta ini pun berangkat sesuai jadwal. Dengan kecepatan maksimum 300 km/jam, dari Taoyuan ke Kaohsiung yang berjarak sekitar 300 km bisa ditempuh dalam waktu 1,5 jam saja. Wussssh!

Traveler pun tinggal beristirahat di dalam kereta sambil menikmati pemandangan pemandangan perbukitan, ladang hingga tempat tinggal penduduk.

Meskipun kereta berjalan begitu cepat, di dalam gerbong penumpang memang tetap nyaman tanpa merasakan guncangan yang berarti. Traveler bisa mudah berjalan-jalan di dalam gerbong.

Selama perjalanan juga ada petugas yang berkeliling menjual makanan dan minuman. Asyiknya lagi, gerbong tampak bersih dari sampah. Petugas tampak keliling mengambil sampah.

Tak terasa, perjalanan semakin mendekati akhir. Kami pun tiba di Kaohsiung. Nah buat traveler yang liburan di Taiwan, sempatkan menjajal naik kereta peluru ini. Biayanya beragam, tergantung rute yang dipilih. Untuk rute Taoyuan-Kaohsiung misalnya, harga tiketnya NTD 1.195 (sekitar Rp 544 ribu).

Liburan Akhir Pekan di Banten, Ada Museum Multatuli yang Modern di Lebak

Siapa sangka di Rangkasbitung, Lebak, Banten ada museum sejarah tapi modern. Museum anti-kolonial atau Museum Multatuli mudah diakses dengan naik KRL.

Akses menuju tempat wisata ini bisa ditempuh 2 jam dari ibu kota. Bupati Lebak Iti Oktavia Jayabaya mengatakan, setahun Museum Multatuli didirikan telah dikunjungi lebih dari 57 ribu wisatawan.

"Satu tahun ada pengunjung 57 ribu lebih hadir. Ini sejalan dengan konsentrasi kami pada pengembangan pariwisata," kata Iti saat perayaan setahun Museum Multatuli di Rangkasbitung, Lebak, Banten, Kamis (21/2/2019).

Rata-rata pengunjung adalah wisatawan dari luar Lebak yang memanfaatkan transportasi commuter line. Bahkan, wisatawan asing banyak yang berkunjung ke museum anti-kolonial pertama di Indonesia ini karena penasaran.

Museum ini katanya jadi andalan city tour masyarakat Banten. Saat ini, sedang dikembangkan one day trip untuk wisatawan yang ingin mengenal Lebak.

One day trip ini menurutnya menawarkan museum, cagar budaya eks kantor kewadanan era kolonial, wisata air terjun, kemudian pariwisata ke masyarakat adat Baduy. Akses atau konektivitas ke jalur pariwisata tersebut ia klaim sudah mulus.

"One day trip naik KRL ke sini bisa, terus bisa ke Baduy atau ke curug-curug di Lebak," paparnya.

Museum ini jadi wadah promosi Lebak di tingkat nasional bahkan mancanegara. Selain itu, destinasi ini jadi satu-satunya museum paling unik dan terbesar yang dipunyai oleh Banten.

"Museum ini sumbangan pusat pendidikan, pusat pencerahan untuk mengangkat Lebak dan jadi museum anti-kolonialisme pertama di Indonesia," pungkasnya.

Yuk, akhir pekan besok kita main ke sana!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar