Senin, 23 Desember 2019

Ubud Akan Dapat Sertifikasi Destinasi Kuliner Kelas Dunia

Sebentar lagi Ubud akan mendapatkan sertifikasi destinasi kuliner kelas dunia. Diperkirakan sertifikasi ini akan didapatkan pada tahun depan.

Menteri Pariwisata Arief Yahya berujar bahwa Indonesia tidak memliki destinasi wisata kuliner. Bahkan, di Ibukota Jakarta tidak ada yang top of mind.

"Indonesia tidak mempunyai destinasi wisata kuliner. Bahkan di Jakarta, tidak ada yang top of mind," katanya saat jumpa pers Wonderful Indonesia Culinary and Shopping Festival (WICSF) di Gedung Sapta Pesona Kementrian Pariwisata Republik Indonesia, Jl Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (17/9/2019) kemarin.

Namun, Ubud sedang dalam proses sertifikasi destinasi kuliner kelas dunia. Destinasi yang menjadi incaran para turis mancanegara ini akan mendapat sertifikasi pada 2020.

"Sekarang kita sedang mensertifikasi Ubud. Kira-kira tahun 2020 kita akan dapat sertifikasi jadi destinasi kuliner kelas dunia," tegas Arief.

Arief memberikan percontohan di 3 lokasi yang akan menjadi destinasi wisata kelas dunia. Ketiganya yaitu di Ubud, Yogya dan Bandung.

"Saya memutuskan memberikan percontohan di lokasi destinasi wisata kelas dunia. Lokasi atau destinasinya adalah satu Ubud, nomor dua Yogya, nomor 3 Bandung," kata Arief.

Ubud memiliki beberapa makanan khas yang diminati wisatawan. Di antaranya ada Ayam Betutu, Bebek betutu, Nasi Campur Ayam Bali, Sate lilit dan berbagai makanan lezat lainnya.

Menurut Arief, kebanyakan wisatawan melakukan pariwisata di kuliner. Kontribusi kuliner mencapai 40 % di ekonomi kreatif.

"Untuk kuliner kontribusinya paling besar, di ekraf (ekonomi kreatif) dia sumbangkan 40 %," kata Arief.

Indonesia memiliki keanekaragaman kuliner yang khas. Sehingga salah satu tempat wisatanya, Ubud layak mendapatkan sertifikasi destinasi wisata kuliner kelas dunia,

Jika traveler mau mencoba menikmti kuliner khas Indonesia, bisa datang ke Festival Kuliner dan Belanja yang akan digelar di seluruh pusat perbelankaan di Indonesia. Festival ini akan dimulai dari tanggal 27 September - 27 Oktober 2019.

Dilema Pendidikan Vokasional Pariwisata Indonesia

Presiden Jokowi menggencarkan program pendidikan vokasional untuk mencetak lulusan prodesional yang terampil. Begitu pula dengan tenaga di sektor pariwisata.

Pendidikan vokasional merupakan jenjang pendidikan tinggi yang berfokus kepada keterampilan untuk mencetak SDM yang siap bekerja dan terampil. Lulusan program vokasi menempuh jenjang diploma, yang dimulai dari diploma 1, 2, 3 dan 4. Lulusan diploma 4 setara dengan program sarjana.

Banyak orang yang masih salah paham, bahwa vokasional memiliki tingkatan yang berbeda dengan sarjana. Sebenarnya, program ini memiliki tujuan yang berbeda dari sarjana. Program sarjana sebagian besar mempelajari teori terhadap sebuah materi, sedangkan vokasional lebih mengutamakan praktek agar dapat langsung dimplementasikan dalam dunia kerja.

Industri pariwisata tentu membutuhkan tenaga terampil, di mana dapat langsung terjun ke lapangan kerja. Menurut Menpar Arief Yahya, terdapat 6 perguruan tinggi yang berfokus pada pariwisata di Indonesia.

"Jadi perlu diketahui 6 sekolah itu vocational (vokasi). 70 persen adalah keterampilan, keterampilan yang dikeluarkan sudah tingkat ASEAN, MRATP namanya (standar ASEAN MRA On Tourism Professional -red)," ujarnya saat ditemui detikcom dalam peluncuran Calendar of Event Papua Barat di Kementerian Pariwisata, Selasa (18/9/2019) malam.

Menurut Arief, sekitar 10 ribu mahasiswa tercatat dalam 6 perguruan tinggi tersebut. Sejumlah lulusannya pun mengisi berbagai jabatan di Kementerian Pariwisata. "Jadi kita meluluskan 2.500 (orang) lah per tahun. Jadi itulah yang mengisi jabatan di sini (Kementerian Pariwisata)." tambahnya.

Namun, hal ini menjadi dilema. Sebagian kecil dari lulusan berbagai perguruan tinggi tersebut bekerja di luar negeri. Menurut Arief, bahkan sejumlah lulusan mengirim hingga 1.000 USD per bulan ke orangtuanya di Tanah Air.

Tetapi, Indonesia juga membutuhkan tenaga pariwisata terampil. Di satu sisi, hal ini menjadi nilai baik untuk membantu perekonomian, namun industri Tanah Air sendiri masih membutuhkannya.

"20 Persen dari overall (keseluruhan) itu kerja di luar negeri. Dilemanya, di Indonesia dibutuhkan. Tapi saya memutuskan untuk membiarkan anak-anak kita kerja di sana. Saya juga tidak mau, TKI kita kerja di luar low skill. Sekarang middle dan high skill dan membanggakan," papar Arief.

Arief mengatakan, lulusan tersebut bahkan mengisi industri pariwisata di Timur Tengah dengan berbagai posisi yang tinggi. "Menjadi GM (General Manager), menjadi manager di Middle East (Timur Tengah). Di Dubai, Abu Dhabi, Doha. Bahkan sudah mulai Malaysia," kata dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar