Berbagai upaya dilakukan Pemkab Kebumen, Jawa Tengah untuk mempromosikan geopark di sana. Salah satu cara adalah dengan menggunakan Tarian Cepetan.
Kebumen mempunyai kawasan geopark nasional yang meliputi 12 kecamatan dan 117 desa. Dari wilayah tersebut, terdapat 41 situs geosite (geodiversity), 8 situs biologi (biodiversity) dan 11 situs budaya (culturediversity).
Untuk meningkatkan daya tarik wisata, kesenian tradisional pun dipergunakan. Tarian yang dipilih yakni Tari Cepetan yang berasal dari kawasan geopark tersebut dan terus digelar dalam berbagai event.
"Justru ini lah geoculture, Tarian Cepetan sengaja dipertunjukkan pada berbagai kesempatan sekaligus untuk mempromosikan wisata khususnya kawasan Geopark Nasional. Hari ini kita tampilkan secara kolosal pada peringatan hari jadi Kebumen yang ke-390. Tari Cepetan ini berasal dari Kecamatan Karanggayam salah satu kecamatan di kawasan geopark," papar Kepala Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata, Azam Fatoni ketika ditemui detikcom di alun-alun kota Kebumen, Rabu (21/8/2018/9).
Dalam acara peringatan hari jadi Kebumen ke-390 tersebut, sedikitnya 1.000-an penari dari kalangan pelajar maupun warga lain membawakan Tari Cepetan dengan apik. Dengan diiringi musik gamelan serta musik tardisional lainnya, mereka berlenggak-lenggok secara dinamis dan kompak di tengah alun-alun.
"Harapannya dengan berbagai penampilan tarian di berbagai kegiatan nantinya bisa meningkatkan daya tarik wisata. Ke depan akan kita kemas dengan berbagai event yang lebih dahsyat," imbuhnya.
Sementara itu, Camat Karanggayam Wikan Tris Junanto menuturkan bahwa Tari Cepeten sudah ada sejak zaman dahulu. Menurut sejarah, tarian ini menceritakan peristiwa pembukaan lahan permukiman di Karanggayam dengan penuh kesengsaraan karena ketika itu penjajah Jepang tengah berkuasa.
Untuk mencari penghidupan yang lebih layak, akhirnya sesepuh daerah tersebut memerintahkan untuk bersama-sama membuka hutan sebagai permukiman dan pertanian baru. Namun hutan tersebut sangat angker karena dihuni oleh berbagai mahluk halus atau cepet.
"Bebagai macam makhluk halus itu akhirnya bisa mereka hadapi dan gangguan dapat diatasi," kata Wikan.
Untuk mengusir penjajah agar tidak mengganggu wilayah Karanggayam yang baru, akhirnya warga berinisiatif untuk menyamar menjadi cepet dengan menggunakan topeng menyerupai mahluk halus yang mengerikan. Dari cerita tersebut, terciptalah Tari Cepetan.
"Tarian tradisional ini menjadi geoculture dan memiliki daya tarik wisata tersendiri. Harapannya tarian ini akan tetap lestari dengan terus diadakan di berbagai kegiatan dan untuk menjaganya kami terus melatih generasi muda terutama pelajar," pungkasnya.
Pentingnya Eduwisata di Zona Rawan Bencana
Sebagian besar daerah wisata di Indonesia berada pada zona berpotensi bencana. Sejarah kebencanaan dan upaya mitigasi risiko perlu diketahui wisatawam.
Satu lagi yang barangkali belum banyak digarap di Indonesia. Daerah yang pernah terdampak gempa bumi, tsunami, gunung meletus, maupun longsor berpotensi menjadi wisata minat khusus yang diramu dengan edukasi kebencanaan.
Selain wisatawan diajak untuk menjelajah keindahan alam, wisatawan juga dapat dipandu untuk memahami aspek kebencanaan yang ada di tempat yang mereka kunjungi. Mereka juga mesti tahu langkah-langkah mitigasi apa yang perlu dilakukan apabila terjadi bencana.
Tentunya dengan pengembangan wisata minat khusus jenis wisata ini akan banyak mengundang minat pengunjung, terutama pelajar lokal maupun yang dari luar. Wisata ini bisa diramu dalam format studi tour.
Bukan tidak mungkin paket wisata ini menjadi wahana baru yang bisa menghasilkan pendapatan yang besar bagi daerah dan para pelaku usaha wisatanya.
"Tentunya harus ada investasi yang harus disiapkan untuk menunjang wisata minat khusus ini," kata Ketua Ikatan Ahli Geologi Nusa Tenggara (IAGI Nusra) Kusnadi saat berbincang dengan detikcom, Rabu (21/8/2019).
Dijelaskan Kusnadi, kita perlu belajar dari kejadian gempa bumi Lombok. Gempa ini mengakibatkan fenomena alam seperti pengangkatan karang laut, retakan memanjang (rupture), lereng Gunung Rinjani yang longsor, maupun kerusakan yang masif pada bangunan.
"Setiap fenomena ini dapat dijadikan monumen atau taman mitigasi bencana yang jadi salah satu stop point untuk tour," ujarnya.
Bahkan, menurut dia, dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, banyak contoh penerapan metode itu dari negara-negara maju seperti Jepang dan Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar