Kementerian Perhubungan tengah mempersiapkan penggunaan tes GeNose agar bisa digunakan di bandara mulai 1 April 2021. Hal ini disampaikan oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat menggelar rapat dengan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menko PMK Muhadjir Effendy serta jajaran dan Peneliti UGM.
Disebutkan bahwa penerapan GeNose diperlukan agar masyarakat mendapatkan akses terhadap alat pendeteksi COVID-19 yang lebih terjangkau, sehingga dapat mengurangi potensi penularan saat menggunakan transportasi umum.
"Di kereta api, animo masyarakat untuk menggunakan GeNose sangat bagus dan saat ini para pemangku kepentingan di sektor perhubungan laut dan udara juga menginginkan penggunaan GeNose. Untuk itu, kami melaporkan kepada Pak Menko tentang rencana itu, dan tentunnya akan kami lakukan dengan hati-hati," kata Budi, dikutip dari keterangan resmi, Rabu (24/2/2021).
Direncanakan penggunaan alat deteksi GeNose juga akan diterapkan di pelabuhan tanjung priok pada akhir minggu ini secara acak. Sementara, untuk sektor udara, GeNose akan mulai diterapkan pada 1 April 2021.
Dalam kesempatan tersebut, MenkoPMK Muhadjir Effendy mengatakan, sangat mendukung kehadiran GeNose sebagai salah satu alternatif alat pendeteksi Covid-19 yang digunakan di transportasi umum. Muhajir mengatakan GeNose merupakan produk dalam negeri dan memiliki kelebihan seperti lebih mudah dan aman penggunannnya, tingkat akurasi cukup tinggi.
"Semoga ke depannya dapat diproduksi secara massal dan dapat terus dikembangkan sehingga tingkat akurasinya akan semakin meningkat. Kita akan terus memperbanyak penggunaan GeNose untuk kepentingan pelayanan publik," tutur Muhajir.
https://kamumovie28.com/movies/moonrise-over-egypt/
'Coronaphobia' alias Rasa Cemas Berlebih pada COVID-19, Bisakah Disembuhkan?
COVID-19 disebut tak hanya memengaruhi kondisi fisik, namun juga berpotensi mengganggu kondisi mental. Istilah 'Coronaphobia' digunakan untuk menggambarkan kondisi stres dan cemas berlebihan terhadap COVID-19. Tak jarang, kondisi ini juga diiringi gejala fisik.
Pada beberapa kondisi, orang dengan Coronaphobia mengalami batuk, pilek, dan demam. Akan tetapi, gejala-gejala tersebut timbul justru karena kecemasan berlebih bukan karena infeksi Corona.
Dilansir Times of India, sejumlah peneliti mengartikan Coronaphobia sebagai kekhawatiran atau rasa takut berlebihan pada risiko tertular COVID-19.
Seiring gejala fisiologis, orang dengan Coronaphobia cenderung mengalami perubahan perilaku yang berpotensi mengganggu keberlangsungan aktivitas sehari-hari. Misalnya, rasa khawatir berlebihan terhadap tempat umum membuat orang dengan Coronaphobia tidak bisa melakukan pekerjaan.
Menurut penelitian Asian Journal Psychiatry pada Desember 2020, terdapat 3 gejala umum yang dialami orang dengan Coronaphobia:
- Rasa cemas terus-menerus, diiringi jantung berdebar dan hilang nafsu makan
- Terlalu banyak berpikir yang memicu kekhawatiran berlebih
- Takut berlebihan terhadap tempat publik, tidak jarang berujung sikap mengisolasi diri sendiri dari interaksi dengan orang lain
Center for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan, stres dan rasa cemas berlebih akibat COVID-19 bisa diminimalkan. Tak lain, dengan melakukan aktivitas yang baik bagi tubuh agar kondisi tubuh fit terjaga.
Selain bebas dari perasaan sakit, hal ini juga bisa meminimalkan ketakutan akan risiko menularkan virus pada keluarga dan orang-orang terdekat.
Namun jika sudah diperlukan, orang dengan Coronaphobia bisa menjalakan terapi, tentunya dengan penanganan ahli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar