Kerap dipakai untuk mengamankan aksi demonstrasi, apa itu gas air mata? Ada berbagai fakta menarik dan juga mitos-mitos yang menyertai gas air mata.
Gas air mata kerap kali digunakan aparat keamanan untuk meredam atau membubarkan aksi massa. Beberapa aksi demo penolakan Omnibus Law baru-baru ini juga berakhir dengan semburan gas air mata.
Reaksi gas air mata ketika terhirup dapat menyebabkan sensasi terbakar pada anggota tubuh. Oleh karena itu, biasanya ketika para demonstran terkena gas air mata, mereka akan langsung berlarian dan menghindar.
Dirangkum detikcom, berikut 4 fakta tentang gas air mata yang perlu diketahui.
1. Kandungannya beragam
Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI Agus Haryono mengatakan, gas air mata terbuat dari berbagai campuran bahan kimia. "Yang paling banyak digunakan adalah gas CS (Chlorobenzalmalononitrile)," jelasnya beberapa waktu lalu.
Selain senyawa CS, gas air mata terbuat dari beberapa bahan kimia lainnya, seperti bromoaseton, fenasil bromida, xylyl bromide, dan minyak cabai.
2. Memicu iritasi
Menurut dr Wisnu Pramudito D Pusponegoro, SpB, dari Perhimpunan Dokter Emergency Indonesia, efek dari gas air mata akan langsung terasa ketika terhirup.
"Setelah terhirup, baru bereaksi pada kelenjar air mata jadi terasa pedih hingga mata berair," kata dr Wisnu.
Selain itu, gas air mata juga memicu iritasi pada saluran pernapasan sehingga dada akan terasa sesak.
Apabila mata sudah terasa perih karena gas air mata, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyingkir sejauh mungkin dari lokasi kejadian. Selanjutnya, bilas dengan air bersih yang mengalir.
3. Odol tak efektif menangkal efeknya
Saat demo umumnya para demonstran akan menggunakan odol untuk mengantisipasi efek perih dari gas air mata. Namun, sayangnya odol tidak memiliki efek apapun terhadap gas air mata.
"Odol nggak ngaruh sebenarnya. Gas air mata bekerjanya karena terhirup, bukan kontak dengan mata. Efek gas air mata itu kan terhirup yang menyebabkan sekresi dari kelenjar air mata," jelas dr Wisnu.
dr Wisnu menegaskan, penggunaan odol di wajah termasuk di sekitar mata untuk menghindari efek perih gas air mata justru bisa memicu iritasi.
4. Gas air mata ada kadaluarsanya
Beberapa waktu lalu sempat viral foto selongsong gas air mata kadaluarsa yang digunakan untuk membubarkan massa aksi demo. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang dampak yang ditimbulkan dari gas air mata tersebut.
Agus menjelaskan, bahan kimia dalam gas air mata kadaluarsa justru akan mengalami proses oksidasi, artinya, efeknya akan jadi menurun.
"Jadi malah bukan tambah pedes ya. Karena reaksi terhadap mata jadi lebih tidak sensitif lagi," lanjutnya.
https://cinemamovie28.com/mole-of-life/
Studi FKUI Ungkap 4 Faktor Kematian Pasien COVID-19 di DKI Jakarta
Studi yang dilakukan oleh tim peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengungkap faktor yang menjadi risiko tinggi penyebab kematian pasien COVID-19.
Dalam penelitian tersebut, usia tua, pneumonia, sesak napas, dan hipertensi merupakan faktor-faktor prediktor terjadinya kematian pada pasien terkonfirmasi COVID-19. Analisis riset ini menggunakan data rekapitulasi Penelusuran Epidemiologi (PE) yang dikeluarkan oleh Pemerintah DKI Jakarta dari 2 Maret hingga 27 April 2020.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Acta Medica Indonesiana ini juga memperlihatkan rata-rata usia pasien COVID-19 yang meninggal dunia adalah 58,2 tahun. Risiko kematian disebut meningkat mulai usia 50 tahun ke atas dengan perbedaan signifikan dibandingkan usia di bawahnya.
Riset tersebut juga menunjukkan, dari 41,1 persen pasien COVID-19 dengan pneumonia, sebanyak 81,6 persen meninggal dunia. Pada mereka, ditemukan adanya gejala seperti batuk, demam, dan sesak napas.
"Risiko kematian pasien COVID-19 di usia tua meningkat akibat pengaruh dari kerja sistem imun tubuh yang menurun. Mereka menjadi lebih rentan untuk mengalami kondisi serius dan respons pengobatan yang tidak maksimal," kata Dekan FKUI yang juga spesialis penyakit dalam, Prof Ari Fahrial Syam dalam keterangan di rilis yang diterima detikcom, Kamis (8/10/2020).
Selain itu, pasien dengan riwayat pneumonia dan sesak napas juga sangat mungkin mencapai luaran buruk karena peluang pasien-pasien ini untuk jatuh ke dalam kondisi acute respiratory distress syndrome (ARDS) meningkat. Penelitian ini juga menyatakan bahwa hipertensi meningkatkan risiko kematian pasien COVID-19 sebesar dua kali lipat.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi, baik kepada masyarakat maupun klinisi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi risiko kematian pasien COVID-19.
"Sikap waspada dan upaya pencegahan harus senantiasa dilakukan apalagi melihat angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia terbilang tinggi jika dibandingkan angka kematian dunia," pungkas Prof Ari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar