Kasus COVID-19 di Malaysia kini semakin mengkhawatirkan. Per Kamis (27/5/2021) kemarin, negara tetangga Indonesia tersebut kembali melaporkan kenaikan peningkatan sebanyak 7.857 kasus.
Dikutip dari Channel News Asia, wilayah yang menyumbang kasus cukup besar berasal dari negara bagian Selangor dan Kuala Lumpur sebanyak 40 persen. Masing-masing menyumbang kasus sebesar 2.675 dan 561 kasus.
Kasus COVID-19 juga melonjak di beberapa negara bagian utara Malaysia. Berikut rinciannya:
Kelantan: 754 kasus
Terengganu: 282 kasus
Kedah: 441 kasus
Johor: 549 kasus
Sarawak: 772 kasus
Selain kasus infeksi, Malaysia juga mengalami lonjakan kasus kematian sebesar 533 ribu kasus, dan totalnya mencapai 2.432 sejak pandemi dimulai.
Menurut Kementerian Kesehatan Malaysia, mayoritas pasien COVID-19 di negara tersebut berusia lebih muda, yaitu 20 hingga 40 tahun. Sebagian besar kasus ini bersifat 'sporadis' atau tanpa sumber infeksi yang jelas.
Melihat peningkatan kasus COVID-19 tersebut, membuat Sultan Negara Bagian Johor, Sultan Ibrahim Iskandar, meminta pemerintah Malaysia untuk mempertimbangkan kebijakan 'full lockdown'. Hal tersebut disampaikannya melalui rilis pernyataan pada Rabu (26/5/2021).
"Lebih dari 7.400 kasus saja hari ini. Ini menakutkan dan kita membutuhkan hampir semua aspek masyarakat untuk tinggal di rumah, untuk memutuskan rantai penularan," kata Sultan Ibrahim yang dikutip dari CNA, Jumat (28/5/2021).
"Oleh karena itu, harus ada disiplin di seluruh jajaran agar semua lapisan masyarakat berkomitmen untuk melakukan lockdown untuk mencegah hal terburuk terjadi pada kita semua. Pemerintah juga harus mempertimbangkan lockdown penuh, jika angka COVID-19 tidak menunjukkan tanda-tanda mereda," lanjutnya.
"Mari kita telan pil pahit itu sekarang, daripada menderita terus menerus dalam ketidakpastian," tegasnya.
https://nonton08.com/movies/fallen-2/
Menkes Klarifikasi Soal Pengendalian Pandemi Corona DKI Jakarta 'Terburuk'
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengklarifikasi pernyataan terkait skor pengendalian pandemi Corona di setiap wilayah. Sebelumnya, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono mengungkap jika skor pengendalian pandemi Corona terburuk di Indonesia berada di DKI Jakarta.
Budi meluruskan, skor yang dimaksud merupakan indikator risiko yang dipakai Kementerian Kesehatan RI secara internal. Hal ini untuk melihat laju penularan pandemi Corona.
"Data-data dan angka merupakan faktor indikator risiko adalah merupakan indikator risiko berdasarkan pedoman WHO terbaru yang digunakan sebagai analisa internal di Kemenkes, untuk melihat persiapan kita sebagai lonjakan kasus pasca liburan Lebaran kemarin," klarifikasi Menkes dalam konferensi pers Jumat (28/5/2021).
Menkes mengaku, indikator tersebut baru dibahas 4 pekan yang lalu. Mempelajari apakah penerapan penilaian tersebut cocok ditetapkan di beberapa provinsi atau wilayah hingga kota.
"Saya tegaskan lagi bukan penilaian kinerja dari daerah, baik provinsi kabupaten atau kota," sambungnya.
Terlebih, di tengah pandemi Corona, strategi pandemi COVID-19 diakui Menkes Budi memang selalu berubah. Terutama saat masuknya varian baru Corona ke Indonesia.
"Kita masih terus melakukan modifikasi dari kebijakan dan intervensi dari mencari mana yang paling pas untuk isa mengatasi pandemi, ada yang awalnya baik tapi kemudian dengan adanya mutasi baru dia mengubah," kata Budi.
Diberitakan sebelumnya, Wamenkes Dante menyoroti bed occupation rate di DKI Jakarta yang sudah mulai meningkat. Hal ini yang kemudian, disebutnya membuat DKI berada di kategori E.
"Masih banyak daerah yang dalam kondisi terkendali, kecuali di Jakarta kapasitasnya E karena di DKI bed occupation rate-nya sudah mulai meningkat dan tracingnya tidak terlalu baik," jelas dr Dante dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI, Kamis (27/5/2021).
Sementara Budi meluruskan, skor yang dimaksud bukan terkait pengendalian pandemi Corona. Terlebih testing Corona di DKI Jakarta menurutnya sangat baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar