Kasus terorisme disebut terkait erat dengan kondisi psikis. Demikian juga kasus penembakan di Mabes Polri, Jakarta yang dilakukan oleh seorang wanita kelahiran 1995, Zakiah Aini. Terlepas dari motif di balik aksinya, psikolog menyebut, aksi penembakan tersebut berhubungan erat dengan faktor psikis.
"Yang paling penting sebenarnya justru bukan usia, tetapi profil psikologis yang khas yang membuat mereka tergerak untuk melakukan aksi terorisme," terang psikolog klinis forensik Dra. A. Kasandra Putranto pada detikcom, Kamis (1/4/2021).
Ia menjelaskan, terorisme adalah kejahatan yang disebabkan masalah pendidikan sejak dini dengan penanaman radikalisme dan ekstrimisme. Masuknya nilai-nilai tersebut ke keyakinan pelaku terorisme tidak terlepas dari kondisi psikologis seseorang.
"Sebagian besar justru disebabkan karena profil psikologis yang khas, antara lain karena memiliki pikiran yang kaku dan terpaku pada ide tertentu, masalah dalam pemahaman dan pengambilan keputusan, menutup diri, meyakini pemikirannya sebagai kebenaran yang absolut," imbuhnya.
Ia menambahkan, sebagian besar motif aksi terorisme adalah masalah dalam keluarga. Baik berupa penanaman nilai radikal sejak dini, atau justru tidak adanya pendidikan yang mencukupi karena konflik keluarga.
Seringkali, keterbatasan pendidikan tersebut mengganggu kapasitas perkembangan kepribadian yang berimbas pada daya pikir, ketidakstabilan emosi, hingga gangguan keterampilan sosial.
Lebih lagi, kini gangguan psikis kerap diperburuk oleh paparan media sosial.
"Memang penting untuk mengetahui profil up psikologi seseorang untuk bisa memahami mengapa individu mengambil keputusan untuk membiarkan adanya pemikiran radikal, perasaan radikal bahkan sampai perbuatan radikal yang berujung kepada aksi terorisme" ujarnya.
https://tendabiru21.net/movies/mortal-kombat-legends-scorpions-revenge/
Iklim Semakin Buruk, Risiko Diabetes Semakin Besar!
Tahukah Anda ternyata ada keterkaitan antara perubahan iklim dengan diabetesi? Menurut data United States Environmental Protection Agency, perubahan iklim diperkirakan berkaitan dengan 166.000 kasus kematian di tahun 2000.
Ada juga data dari International Diabetes yang menyebutkan jumlah kasus diabetes termasuk di Indonesia terus meningkat. Diperkirakan sekitar 1 dari 17 orang Indonesia hidup dengan diabetes pada tahun 2019.Padahal, diabetes berkaitan dengan berbagai macam komplikasi kesehatan yang berbahaya seperti gangguan penglihatan, kerusakan ginjal, penyakit jantung, hingga risiko amputasi
Kedua masalah ini tidak hanya menjadi semakin parah dari waktu ke waktu dan dapat mempengaruhi hidup masyarakat hingga generasi selanjutnya; tapi juga saling berkaitan. Apa sih kaitan di antara keduanya?
Seperti dilaporkan pada jurnal Early Human Development, kondisi suhu ekstrim akibat perubahan iklim ternyata menimbulkan risiko yang lebih besar untuk diabetesi. Diabetesi lebih rentan mengalami gangguan respons terhadap suhu tinggi, dan gangguan kemampuan tubuh dalam menjaga keseimbangan suhu (thermoregulation).
Hal ini kemudian menyebabkan diabetesi lebih berisiko mengalami dehidrasi dan serangan panas, serta lebih sering membutuhkan perawatan pada saat cuaca panas. Selain itu, diabetesi juga rentan mengalami gangguan kardiovaskular pada kondisi polusi udara dan serangan panas.
Masih dari jurnal yang sama, perubahan iklim juga berkaitan dengan perubahan lingkungan fisik diabetesi. Hal ini dapat memengaruhi banyak faktor, sebagai contoh, adanya kondisi cuaca ekstrim dan bencana alam dapat memberikan dampak negatif terhadap kontrol metabolik diabetesi, mengganggu ketersediaan alat ukur gula darah, insulin, dan obat-obatan yang penting dalam kontrol gula darah, serta menghambat akses pelayanan kesehatan.
Jadi, dapat dikatakan perubahan iklim akan memperburuk risiko kesehatan dan tingkat kematian akibat diabetes. Bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim juga akan menyebabkan gangguan sistem kesehatan, sehingga menurunkan kapasitas pencegahan dan penanganan diabetes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar