Meski tak menggunakan suntikan bius dan peralatan medis, sunat tradisional masih tetap punya pasar tersendiri. Misalnya 'Bengkong' Si Pitung, hingga hari ini masih aktif menyunat pria beragam usia. Diyakininya, sunat yang hanya memakan waktu 5 menit ini tak kalah higienis dibanding sunat-sunat oleh dokter.
Sang bengkong, sebutan untuk juru sunat di Betawi, biasa disapa Haji Mahfudz Zayadi. Sejak berkiprah dalam sunat tradisional pada 1989, rumahnya di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, kini masih rutin menerima pasien setiap jam subuh hingga pukul 6 pagi.
Sementara pasien yang menginginkan layanan sunat di rumah, bisa menghubungi Mahfudz lebih dulu via WhatsApp beberapa hari sebelum. Sudah menjadi rutinitas, Mahfudz menyunat dari rumah ke rumah di kawasan Jakarta dan sekitarnya.
"Kalau dokter, disuntik dulu (dibius), digunting, dijahit. Itu kontradiksi perbedaannya saya dengan dokter, bertolak belakang. Kalau dokter setelah khitan keluar darah, bingung kenapa kan sudah dibius, dijahit. Kalau saya tradisional, langsung saja. Dibuka, ambil ujungnya, dijepit, langsung potong. Makanya singkatannya Sipitung (Jepit, Potong Ujung)," terang Mahfudz sang 'bengkong', istilah untuk tukang sunat dalam Betawi, saat ditemui di Jakarta, Jumat (4/5/2021).
Steril nggak sih?
Tak heran, sebagian masyarakat pula bertanya-tanya soal higiene atau kebersihan sunat tradisional. Terlebih, seperangkat alat sunat tradisional kelihatan alakadar tanpa jarum suntik dan perangkat pemotong bak perkakas ruang medis.
Mahfudz tak memungkiri, persoalan higiene sunat tradisional memang menjadi tantangan. Mungkin itu pula yang membuat peminatnya makin berkurang.
Namun menurutnya, kecepatan proses pengeringan luka pada penis pasca penyunatan menjadi keunggulan sunat tradisional yang mengimbangi kekurangan dari sisi higiene. Hal itulah yang membuatnya masih diandalkan sebagian masyarakat hingga kini.
"Segi kebersihan, mohon maaf memang begitu cara sunat tradisional. Dibandingkan zaman orangtua saya, sebelumnya lebih ramai. Kalau sekarang memang agak sepi tradisional karena kalau orang sekarang banyak takut ada apa-apa, luka banyak darah, takut ini-itu. Padahal nggak juga," kata Mahfudz.
"Kembali ke orangnya saja, bahkan ada yang fanatik ke tradisional, ada juga yang takut kalau tradisional bikin pendarahan jadi harus ke dokter juga," lanjutnya.
https://maymovie98.com/movies/the-magnificent-butcher/
Selidiki Kemungkinan Varian Baru di Kudus, Kemenkes Teliti 75 Sampel Corona
Kabupaten Kudus, Jawa Tengah menjadi zona merah penyebaran virus Corona atau COVID-19. Kementrian Kesehatan pun sudah mengambil 75 sampel pasien terkena COVID-19 untuk diselidiki.
"Untuk pemeriksaan whole genome sequencing sudah kita ambi, kita tunggu ambilnya. Kita ambil 75 sampel," kata Plt Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, Ditjen P2P Kementrian Kesehatan dr Prima Yosephine kepada wartawan ditemui di Pendapa Kabupaten Kudus, Jumat (4/6/2021).
Dia mengatakan penelitian tersebut dilakukan guna mengetahui penyebab lonjakan kasus Corona di Kudus. Apakah ada varian baru dari COVID-19 atau bukan.
"Untuk menentukan apakah ada varian baru. Kan orang positif kita pastikan apakah sudah ada varian baru apa belum. Jadi beberapa kita ambil," jelasnya.
Prima menjelaskan diperkirakan dua minggu lagi hasil tersebut baru bisa diketahui. Disebutkan sejauh ini belum ada temuan varian baru dari virus Corona.
"Sudah mungkin 2 minggu akan baru diketahui. Ada yang lalu, sekitar 2 minggu baru diketahui. Sejauh ini belum (belum ada varian baru dari COVID-19)," jelas.
Prima menambahkan saat ini dari Kementrian Kesehatan telah memberikan sejumlah bantuan. Di antaranya 50 ribu tes antigen dan 50 ribu vaksin COVID-19.
"Antisipasi sama saja. Yang penting prokes, yang kedua 3T, yang kena karantina itu yang harus ditingkatkan. Kita berikan bantuan sebanyak 50 ribu antigen dan 50 ribu vaksin kita bantu di Kudus. Sasarannya kita akan berkoordinasi dengan dinas. Mana dulu yang akan divaksin," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar