Rabu, 23 Juni 2021

Ahli Obat: Ivermectin Relatif Aman, Tapi Butuh Bukti Klinis untuk COVID-19

 Obat cacing Ivermectin tengah jadi perbincangan hangat. Sebenarnya relatif aman, dan memang sedang diteliti untuk terapi COVID-19. Persoalannya adalah muncul klaim sebagai obat terapi COVID-19 ketika belum ada cukup bukti ilmiah.

Dikhawatirkan, klaim semacam ini bisa memicu kepanikan. Seperti yang pernah terjadi pada beberapa obat lain yang diteliti untuk COVID-19, kelangkaan di pasaran terjadi karena obatnya diborong. Terlebih, Ivermectin harganya relatif murah.


Guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Apt Zullies Ikawati menegaskan, Ivermectin adalah obat keras. Untuk penggunaan sebagai antiparasit pun, harus di bawah pengawasan dokter.


"Yang penting lagi adalah bahwa obat ini adalah obat keras dengan tanda lingkaran merah dengan huruf K, yang berarti harus diperoleh dengan resep dokter dan digunakan dengan pengawasan dokter," terangnya pada detikcom, Selasa (22/6/2021).


"Seberapapun kecilnya, obat memiliki risiko efek samping yang perlu dipertimbangkan," lanjutnya.


Ia menjelaskan,Ivermectin sebagai obat cacing sudah lama diproduksi di Indonesia melalui PTIndofarma. Meski aman digunakan sebagai obat cacing,penggunannyaIvermectin harus di bawah pengawasan dokter lantaran obat ini tergolong obat keras.


Sebenarnya secara keamanan cukup aman, efek sampingnya meliputi nyeri otot atau sendi, ruam kulit, demam, pusing, sembelit, diare, mengantuk, dan Sindrom Stevens-Johnson. Yang terakhir yang agak bahaya, tetapi kejadiannya jarang

Prof Zullies Ikawati, Apt - Guru Besar F. Farmasi UGM

"Sebenarnya secara keamanan cukup aman, efek sampingnya meliputi nyeri otot atau sendi, ruam kulit, demam, pusing, sembelit, diare, mengantuk, dan Sindrom Stevens-Johnson. Yang terakhir yang agak bahaya, tetapi kejadiannya jarang," jelas Prof Zullies.


Ia menjelaskan, wacana obat cacing Ivermectin sebenarnya berawal dari penelitian di Australia. Penelitian tersebut menemukan, Ivermectin memiliki aktivitas antiviral secara in vitro terhadap virus SARS-CoV2. Hal inilah yang memantik wacana Ivermectin bisa menjadi terapi COVID-19, terlebih melihat kasus positif COVID-19 tengah melonjak di Indonesia.


"Namun demikian, untuk digunakan sebagai terapi COVID-19, tentu diperlukan bukti-bukti klinis yang kuat untuk menimbang manfaat dan risikonya, dengan disain uji klinik yang sahih sehingga datanya dapat dipercaya," imbuh Prof Zullies.

https://cinemamovie28.com/movies/echo-of-diana/


Waspada! WHO Sebut Varian Delta Sebagai Varian Terkuat COVID-19 Saat Ini


 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kembali memberikan peringatan terkait varian Delta (B1617.2) yang pertama kali diidentifikasi di India. WHO menyebut bahwa varian ini sangat menular, termasuk jenis varian yang tercepat, dan terkuat yang pernah ada .

"(Varian Delta) menjadi lebih mematikan karena lebih efisien dalam cara penularan antar manusia. Dan pada akhirnya akan menemukan individu-individu yang rentan yang akan menjadi sakit parah, harus dirawat di rumah sakit dan berpotensi meninggal," kata Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO, Dr Mike Ryan, dikutip dari CNBC, Selasa (22/6/2021).


Oleh karena itu, Dr Mike meminta para pemimpin dunia dan pejabat kesehatan masyarakat untuk segera melakukan donasi dan pendistribusian vaksin.


"Varian Delta ini lebih cepat, lebih 'bugar', akan memilih yang lebih rentan lebih efisien daripada varian sebelumnya. Dan, oleh karena itu jika ada orang yang dibiarkan tanpa vaksinasi, mereka tetap berada pada risiko lebih buruk," jelas Dr Ryan.

https://cinemamovie28.com/movies/chicken-run/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar