Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menambahkan lima gejala COVID-19. Lima gejala tersebut adalah tubuh menggigil, sakit kepala, sakit tenggorokan, kehilangan indra penciuman, dan nyeri otot.
Gejala-gelaja di atas bukanlah penemuan baru. Pada bulan Maret 2020, spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan di Inggris memperingatkan bahwa hilangnya indra penciuman dan rasa mungkin merupakan gejala COVID-19.
Dikutip dari Health, berikut 3 fakta tentang nyeri otot akibat gejala COVID-19:
1. Memicu peradangan otot (myositis)
"Secara umum, virus corona, seperti virus lainnya, dapat menyebabkan peradangan pada jaringan otot," kata Amir Barzin, DO, MS, komandan insiden untuk Pusat Diagnostik Pernafasan di Pusat Medis UNC di Chapel Hill.
Dr. Barzin menjelaskan bahwa nyeri otot akibat infeksi virus disebabkan oleh kerusakan serat otot karena virus itu sendiri. COVID-19 memicu respons peradangan di dalam tubuh melalui sitokin inflamasi yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan otot.
2. Beda nyeri otot akibat COVID-19
Nyeri otot akibat COVID-19 sulit dibedakan dengan nyeri otot akibat cedera olahraga. Nyeri akibat virus cenderung menyebar ke seluruh jaringan otot, sedangkan nyeri akibat cedera olahraga cenderung menyerang otot tertentu saja.
Nyeri otot akibat gejala COVID-19 cenderung sembuh dalam beberapa minggu hingga bulan setelah infeksi penyakit sembuh, sedangkan nyeri otot akibat cedera olahraga akan sembuh dalam waktu 48-72 jam.
3. Pengobatan
Charles Odonkor, MD, ahli fisioterapi dan spesialis pengobatan nyeri dari Yale Medicine mengungkapkan bahwa penyembuhan nyeri otot akibat COVID-19 memerlukan asetaminofen dan ibuprofen, serta bed rest untuk jangka waktu yang cukup lama.
Untuk nyeri otot akibat olahraga dapat diredakan dengan mengompres otot yang nyeri menggunakan es dan peregangan ringan untuk merilekskan kembali otot-otot.
https://movieon28.com/movies/my-friends-wife/
Disease X Berpotensi Jadi Pandemi, Para Ilmuwan Waspadai Gejala Ini
Menyusul laporan munculnya kasus penyakit 'misterius' di Republik Demokratik Kongo, negara-negara lain ikut mewaspadai Disease X yang diprediksi jadi pandemi berikutnya. Rusia menyebut tengah memantau situasi pasca laporan tersebut.
"Rospotrebnadzor (pengawas keamanan konsumen - TASS) memantau dengan cermat laporan tentang setiap wabah penyakit menular, baik infeksi baru maupun berulang, di seluruh dunia," kata pernyataan otoritas kesehatan setempat.
"Tidak ada kasus dengan gejala serupa yang terdeteksi di Rusia," lanjut pernyataan tersebut, dikutip dari Russian News.
Hingga kini otoritas kesehatan setempat mengaku tak memiliki cukup informasi mengenai penyebab disease X. Namun, mereka berasumsi jika penyakit tersebut muncul karena sifat alami virus.
Begitu pula dengan data terkait seberapa menular dan mematikan disease x, hingga kini belum diketahui.
"Munculnya penyakit baru, termasuk yang berpotensi pandemi tinggi, merupakan bagian dari proses evolusi alami. Oleh karena itu, keanekaragaman mikroorganisme di sekitar kita harus dipelajari secara permanen dan sistematis," tutur otoritas kesehatan setempat.
Apa saja gejala yang timbul?
Dikutip dari CNN, Profesor Jean-Jacques Muyembe Tamfum, salah satu ilmuwan pertama yang menemukan virus Ebola, memperingatkan disease X yang jauh lebih mematikan, yang menular dari hewan ke manusia, diprediksi sebagai pandemi berikutnya.
Berdasarkan laporannya, seorang pasien wanita di Ingende, sebuah kota di Republik Demokratik Kongo (DRC), menunjukkan gejala awal seperti demam berdarah.
Namun, saat dites Ebola, hasilnya menunjukkan negatif, begitu pula saat dites virus lain. Wanita ini belakangan sembuh, tetapi dokter tidak dapat memastikan asal penyakit yang gejala lainnya juga tampak seperti infeksi Ebola.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar