- Indonesia kembali kedatangan 8 juta bulk vaksin COVID-19 produksi Sinovac. Vaksin dalam bentuk bulk ini akan diproduksi terlebih dahulu oleh Bio Farma sebelum akhirnya disuntikkan kepada masyarakat.
Ketua Pelaksana Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Erick Thohir menyambut baik kedatangan vaksin COVID-19 Sinovac. Ia juga mengatakan cakupan vaksinasi Indonesia tergolong lebih tinggi di antara negara Asia Tenggara lainnya.
"Kalau kita lihat daripada perbandingan dibandingkan negara-negara Asia Tenggara, adalah salah satu negara yang vaksinasinya sudah tinggi," katanya dalam konferensi pers, Senin (31/5/2021).
Meski demikian cakupan vaksinasi di Indonesia masih harus ditingkatkan sebab jika dibandingkan dengan negara besar lain seperti China dan Amerika Serikat, posisi Indonesia untuk vaksinasi masih cenderung sedikit.
Jika dilihat dari tabel Our World in Data, per 29 Mei 2021, Indonesia menempati peringkat pertama untuk pemberian vaksin COVID-19 terbanyak di Asia Tenggara, disusul Filipina dan Singapura.
Walau vaksinasi Corona bisa menjadi 'game changer' dalam penanganan pandemi COVID-19, penting untuk diingat bahwa protokol kesehatan juga tetap harus dilakukan dengan ketat demi mencegah penularan.
https://nonton08.com/movies/survivor-3/
Investigasi Asal-usul COVID-19 Diracuni Politik, WHO Merasa Dipojokkan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan kembali kepada semua pihak untuk tidak mempolitisasi studi tentang asal-usul Corona COVID-19. Pasalnya, WHO merasa saat ini seluruh proses penelitian justru sedang 'diracuni oleh politik'.
"Jika Anda mengharapkan para ilmuwan untuk melakukan pekerjaan mereka, jika Anda mengharapkan para ilmuwan untuk bekerja sama dan benar-benar mendapatkan jawaban yang Anda inginkan, carilah di lingkungan yang tidak saling menyalahkan untuk menemukan asal muasal virus, sehingga kita semua dapat belajar bagaimana mencegah hal ini terjadi," kata Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO Dr Mike Ryan dikutip dari Xinhua.
"Di masa mendatang, kami akan meminta agar hal ini dilakukan dalam lingkungan depolitisasi (lepas dari campur tangan politik), di mana sains dan kesehatan yang menjadi tujuan," lanjutnya.
Terlebih dengan adanya laporan dari intelijen AS yang menyebut tiga peneliti di laboratorium tersebut sakit dan mengalami gejala mirip COVID-19 pada November 2019, sebulan sebelum penyakit ini diumumkan.Dalam beberapa hari terakhir, Ryan mengaku cukup terganggu dengan beredarnya kabar tentang dugaan asal muasal COVID-19. Pasalnya, sejumlah pejabat dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa selalu mendesak WHO untuk mencari tahu apakah virus Corona memang berasal dari laboratorium di Wuhan, China, atau tidak.
"Menempatkan WHO pada posisi seperti ini sangat tidak adil bagi penelitian yang ingin kami lakukan. Ini menempatkan kami sebagai sebuah organisasi, sejujurnya, dalam posisi yang mustahil untuk memberikan jawaban yang diinginkan dunia," ujar Ryan, dikutip dari CNBC International.
Ryan pun sekali lagi meminta kepada negara-negara untuk bisa memisahkan sains dan politik.
"Jadi kami akan meminta agar sains dipisahkan dari politik, dan mari kita lanjutkan dengan menemukan jawaban yang kami butuhkan dalam suasana positif yang tepat, di mana kami dapat menemukan sains untuk mendorong solusi melalui proses yang didorong oleh solidaritas," tuturnya.