Sarapan merupakan aktivitas yang tidak boleh terlewatkan. Melewatkan sarapan akan membuat lapar dan kehilangan konsentrasi saat menjalani kegiatan. Selain itu, tubuh akan terasa lemas dan mudah lelah.
Meskipun menyadari pentingnya sarapan, seseorang sering menghindari sarapan karena keterbatasan waktu atau sedang berdiet.
Buah-buahan seringkali menjadi alternatif sebagai pengganti sarapan. Namun, ide tersebut sebenarnya tidak baik untuk tubuh. Ahli diet dari Breach Candy Hospital, Eileen Canday, mengatakan bahwa, kandungan vitamin dan mineral pada buah-buahan tidak cukup memberikan tenaga untuk melakukan aktivitas seharian.
"Pada dasarnya, buah-buahan yang dikonsumsi saat sarapan tidak memberikan asupan vitamin dan mineral yang cukup berdasarkan kebutuhan harian. Di sisi lain, ketika makan menu sarapan lengkap tubuh tidak hanya mendapatkan asupan vitamin C tapi juga kalsium, serat dan protein. Untuk membantu tubuh dalam beraktivitas," jelas Canday, dikutip dari TimesofIndia.
Menurut Canday, tidak masalah jika ingin mengonsumsi buah di pagi hari, tetapi harus dibarengi dengan makanan sarapan berserat tinggi seperti oatmeal yang akan memberikan kenyang lebih lama dan memiliki lebih banyak nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh.
Selain itu, sarapan yang tidak mengandung protein akan membuat perut terasa lapar lebih cepat dan lemas pada siang hari. Disarankan untuk mengkonsumsi buah-buahan hanya sebagai tambahan atau camilan dan jangan jadikan buah-buahan sebagai pengganti sarapan.
Studi Sebut Virus Corona Dapat Bertahan pada Anak Berminggu-Minggu
Peneliti menyebut anak dapat membawa virus Corona COVID-19 dalam hitungan minggu, meskipun mereka tidak menunjukkan gejala apa pun. Hal ini ditemukan dalam penelitian di Korea Selatan.
"Dalam rangkaian studi kasus ini, infeksi yang tidak terlihat pada anak-anak mungkin telah dikaitkan dengan penularan COVID-19 secara diam-diam di tengah masyarakat," tulis para peneliti, dikutip dari laman CNN.
Studi yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Pediatrics pada hari Jumat (28/8/2020) yang mencakup data pada 91 anak tanpa gejala, mulai timbul gejala Corona, dan gejala yang telah didiagnosis dengan COVID-19 antara 18 Februari dan 31 Maret di Korea Selatan.
Di antara pasien tersebut, 20 di antaranya atau sekitar 22 persennya tidak menunjukkan gejala Corona yang jelas selama dalam penelitian. Sebanyak 18 anak lainnya atau sekitar 20 persen tidak menunjukkan gejala Corona, artinya mereka tidak terlihat atau merasa sakit pada saat itu, tetapi pada akhirnya mereka menunjukkan gejala.
Sementara itu, lebih dari 71 anak atau sekitar 78 persen menunjukkan gejala seperti demam, diare, batuk, sakit perut, dan kehilangan kemampuan penciuman serta pengecap rasa. Durasi munculnya gejala Corona pada anak cukup bervariasi, mulai dari 1 hingga 36 hari.
"Ini menunjukkan bahwa anak-anak yang terkena dampak ringan dan sedang, tetap bergejala untuk jangka waktu yang lama," jelas Dr Roberta DeBiasi dan Meghan Delaney, dari Children's National Hospital di Washington, DC.
Selain itu, data juga menunjukkan bahwa hanya 8,5 persen dari anak yang menunjukkan gejala terinfeksi COVID-19. Sebagian besar, sekitar 66,2 persen anak memiliki gejala yang tidak dikenali sebelum diagnosis, sementara sekitar 25,4 persen baru menunjukkan gejala setelah didiagnosis Corona.
"Ini menyoroti bahwa anak-anak yang terinfeksi tidak mudah diketahui dengan baik, atau biasanya hadir tanpa menunjukkan gejala. Jika mereka melanjutkan aktivitas seperti biasa, hal ini dapat berkontribusi pada tingkat penularan virus Corona," tulis peneliti.
Studi ini juga menemukan bahwa materi genetik virus Corona terdeteksi pada anak-anak selama rata-rata 17,6 hari secara keseluruhan. Pada anak-anak yang tidak memiliki gejala, virus Corona tersebut rata-rata terdeteksi selama 14 hari.
Penelitian ini juga mengatakan bahwa virus mungkin bisa bertahan pada anak-anak lebih lama karena tanggal infeksi awal tidak teridentifikasi.
Namun, dibutuhkan lebih banyak lagi penelitian untuk menentukan apakah temuan serupa akan muncul di antara kelompok anak-anak dalam jumlah yang lebih besar.
Meski begitu, studi ini menjadi tambahan informasi bagi para pengambil kebijakan yang mulai kembali membuka aktivitas tatap muka di sekolah di tengah pandemi virus Corona COVID-19.
https://kamumovie28.com/rudy-habibie-2/