Program vaksinasi COVID-19 sudah dimulai di Indonesia. Di tahapan pertama, pemerintah memakai vaksin COVID-19 buatan Sinovac, CoronaVac, untuk disuntikkan ke kelompok prioritas.
Tak hanya dari Sinovac, pemerintah juga mengamankan jutaan dosis vaksin COVID-19 dari para pengembang lain, salah satunya AstraZeneca. Vaksin 'ramah lansia' ini didapatkan Indonesia dari skema GAVI dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara cuma-cuma.
Lalu, apa sih perbedaan vaksin COVID-19 AstraZeneca Vs Sinovac?
- Usia penerima
AstraZeneca
Vaksin AstraZeneca dapat digunakan untuk memvaksinasi penduduk usia 60 tahun keatas. Dalam publikasi data interim di laman The Lancet, pemberian pada kelompok lansia menunjukkan respons kekebalan setelah diberikan dosis kedua vaksin.
Sinovac
Dalam uji klinis, vaksin ini diberikan pada relawan berusia 19 tahun hingga 56 tahun. Pendekatan kelompok prioritas penerima vaksin COVID-19 di Indonesia memilih usia 18-59 tahun sebagai penerima vaksin Corona periode pertama.
- Efikasi
AstraZeneca
Dari situs penelitian ilmiah Lancet, dilaporkan efikasi dari Astrazeneca mencapai 70 persen. Angka ini didapatkan dari analisis interim hasil uji klinis tahap tiga di Brasil dan Inggris.
Angka efikasi tersebut didapat dari penggabungan data kelompok orang yang divaksinasi dengan dosis tepat, dan dosis yang keliru. Jika hanya menggunakan data kelompok dosis yang tepat, ditemukan efikasi sebesar 64 persen.
Meski lebih rendah, vaksin Astrazeneca telah mencapai standar efikasi minimal vaksin COVID-19 yaitu 50 persen. Vaksin Astrazeneca juga tidak perlu disimpan dalam suhu -80 derajat seperti vaksin Covid-19 Pfizer.
https://tendabiru21.net/movies/black-sheep/
Sinovac
Dari uji klinis yang dilakukan di Bandung, Jawa Barat, tim peneliti mendapatkan efikasi sebesar 65,3 persen. Penghitungan efficacy rate dari uji klinis di Bandung dengan subjek 1.600 orang, dengan analisis interim sesuai dengan penghitungan statistik kita menargetkan 25 kasus terinfeksi.
Perbedaan lainnya adalah dari teknologi platform pengembangan dan kemungkinan efek samping yang muncul. Selengkapnya di halaman berikut.
- Metode pengembangan
AstraZeneca
Vaksin AstraZeneca-Oxford dengan nama AZD1222 dikembangkan dengan platform adenovirus. Tim pengembang vaksin mengambil virus yang biasanya menginfeksi simpanse, dan dimodifikasi secara genetik untuk menghindari kemungkinan konsekuensi penyakit pada manusia.
Singkatnya, AstraZeneca mengembangkan vaksin dengan virus yang biasanya menyasar simpanse dan kemudian dimodifikasi secara genetis untuk merespon protein pada virus COVID-19 di tubuh manusia.
Sinovac
Metode pembuatan vaksin yang digunakan oleh Sinovac yakni dengan inactivated virus atau virus yang dimatikan (bukan dilemahkan). Inaktivasi adalah metode pembuatan vaksin dengan menggunakan versi tidak aktif dari jenis virus atau bakteri penyebab penyakit tertentu.
Jenis vaksin ini biasanya perlu beberapa dosis atau suntikan untuk mengembangkan antibodi atau kekebalan yang diinginkan. Beberapa jenis vaksin yang menggunakan metode inaktivasi sebelumnya adalah vaksin hepatitis A, vaksin flu, polio, dan rabies.
- Efek samping
AstraZeneca
Pada uji klinis, relawan melaporkan beberapa efek samping atau reaksi pasca suntikan, di antaranya nyeri di bagian lengan, sakit kepala, kelelahan, malaise, demam, hingga mual.
Mayoritas reaksi ringan sampai sedang dan biasanya sembuh dalam beberapa hari setelah vaksinasi. Jika dibandingkan dengan dosis pertama, reaksi yang dilaporkan setelah dosis kedua lebih ringan dan lebih jarang dilaporkan.
Sinovac
Uji klinis di Bandung menunjukkan vaksin CoronaVac aman dengan kejadian efek samping yang ditimbulkan ringan hingga sedang, yaitu efek samping lokal berupa nyeri, iritasi, pembengkakan, serta efek samping sistemik berupa nyeri otot, fatigue, dan demam.
Frekuensi efek samping dengan derajat berat sakit kepala, gangguan di kulit, atau diare yang dilaporkan hanya sekitar 0,1 -1 persen.