Kamis, 04 Juni 2020

Konspirasi Senjata Biologis, Fakta atau Fiksi?

Pandemi COVID-19 diwarnai dengan berbagai isu termasuk konspirasi kontroversial yang menyebutnya sebagai senjata biologis. Faktanya, apakah pernah ada penggunaan bioweapon di kehidupan nyata?
Senjata biologi atau biological weapon merupakan senjata yang menggunakan patogen (bakteri, virus, atau organisme penghasil penyakit lainnya) sebagai alat untuk membunuh, melukai, atau melumpuhkan musuh. Nah, dalam pengertian yang lebih luas, bioweapon bukan hanya berupa virus atau bakteri, tapi juga toksin berbahaya yang dihasilkan oleh organisme tertentu.

Bioweapon tidak hanya dilakukan pada zaman sekarang. Ini sudah dikenal sejak dulu ketika perang menggunakan panah yang dicelupkan ke racun. Contoh lain, mengutip Emedicine Health, dalam Pertempuran Eurymedon pada 190 SM, Hannibal memenangi kemenangan angkatan laut atas Raja Eumenes II dari Pergamon dengan menembakkan ular berbisa ke kapal-kapal musuh.

Di era modern, Perang Dunia II (WWII) beberapa negara memiliki program aktif untuk pengembangan senjata biologis untuk peperangan. Negara tersebut di antaranya Inggris, Kanada, Jerman, Jepang, Uni Soviet, dan Amerika Serikat. Namun, pada 1969, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Richard Nixon memutuskan menghentikan ini setelah menyetujui The Biological and Toxin Weapons Convention (BTWC).

Melansir laman Nuclear Threat Initiative, Konvensi Senjata Biologis dan Toksin atau BTWC adalah perjanjian multilateral pertama yang secara tegas melarang kelas senjata tertentu. Perjanjian itu melarang pengembangan, penimbunan, produksi, atau transfer agen biologis dan racun dari jenis dan jumlah yang tidak memiliki pembenaran untuk penggunaan perlindungan.

Lebih jauh, perjanjian itu melarang pengembangan senjata, peralatan, atau sistem pengiriman untuk menyebarluaskan agen (zat) atau racun tersebut. Konvensi ini ditandatangani di London, Moskow, dan Washington oleh lebih dari 100 negara yang berpartisipasi pada 10 April 1972. Untuk membaca lebih detail mengenai isi konvensi tersebut Anda bisa mengklik di SINI.

Kesimpulannya, senjata biologis secara historis pernah ada dan dilakukan dalam peperangan. Namun, di era modern, senjata biologis sudah dilarang dalam sebuah kesepakatan perjanjian internasional.

Google Terancam Denda Rp 70 Triliun karena Lacak Browsing Pengguna

 Google harus menghadapi gugatan class action di Amerika Serikat (AS) atas tuduhan menyerang privasi pengguna. Sang raksasa internet dituding telah secara ilegal melacak riwayat browsing pengguna, bahkan ketika mereka sudah dalam mode 'incognito'.
Lewat class action ini, Google digugat membayar USD 5 miliar (sekitar Rp 70 triliun). Data yang dikumpulkan Google antara lain adalah informasi yang dicari pengguna, serta lokasi mereka melakukan pencarian.

Berdasarkan dokumen gugatan yang diajukan ke pengadilan federal San Jose, California, AS, tertulis bahwa Google telah mengumpulkan data melalui Google Analytics, Google Ad Manager, dan sejumlah aplikasi di smartphone.

Lewat tool tersebut, Google bisa tahu teman-teman si pengguna, hobinya, makanan kesukaan, kebiasaan berbelanja, dan hal personal lainnya.

"Google tidak boleh terus terlibat dalam pengumpulan data rahasia dan ilegal dari setiap pengguna komputer atau smartphone," demikian bunyi gugatan tersebut seperti dikutip dari Reuters.

Merespons hal ini, Jose Castaneda selaku juru bicara Google mengatakan, pihaknya akan melakukan pembelaan terhadap gugatan yang dilayangkan.

"Kami dengan jelas menyatakan bahwa setiap kali Anda membuka tab incognito, website masih mungkin bisa mengumpulkan informasi tentang aktivitas penjelajahan internet Anda," sebutnya.

Namun nyatanya, pengguna menganggap mode incognite sebagai mode pencarian yang bersifat pribadi dan aman dari pengawasan.

Sementara itu, para peneliti keamanan komputer telah lama menyuarakan keprihatinan bahwa Google dan layanan sejenisnya bisa melacak identitas pengguna dalam berbagai mode pencarian internet.

Lalu bagaimana kasus ini akan berjalan? Kita masih menantikan kelanjutannya. Gugatan class action ini menyuarakan keluhan miliaran pengguna yang sejak 1 Juni 2016 melakukan pencarian dengan mode incognito di Google Chrome.
https://kamumovie28.com/star/charmaine-sheh/

China Banggakan Kemampuan Riset Vaksin Corona

 Riset mengenai vaksin di China termasuk yang paling top di dunia. Demikian diklaim oleh pakar pernapasan negara itu, Zhong Nanshan.
"Sejauh ini, kita memiliki 5 vaksin (COVID-19) yang masuk dalam fase II trial klinis. Kita tidak tertinggal dari negara lain," klaim Zhong, dikutip detikINET dari CGTN.

China memang termasuk negara yang giat mengembangkan kandidat vaksin COVID-19. Terlebih virus Corona ini mewabah pertama di negara itu.

Selain penelitian vaksin, ilmuwan China juga giat menulis di jurnal ilmiah tentangnya. Sampai 10 Mei, total 2.151 artikel tentang COVID-19 telah dipublikasikan di jurnal terkemuka dan ilmuwan China disebut banyak berkontribusi.

"China berkontribusi 650 di antaranya, sekitar sepertiga, banyak yang dipublikasikan di jurnal top. Artikel itu menyediakan panduan untuk mengendalikan pandemi," kata Zhong.

"Tulisan ilmiah kita tidak hanya ditujukan buat China, tapi juga seluruh dunia," imbuhnya. Studi antara lain dilakukan untuk mencari asal muasal virus COVID-19.

Soal vaksin, salah satu perusahaan di negeri Tirai Bambu itu, perusahaan Fourth Construction Co yang adalah bagian China Electronics System Engineering, baru-baru ini mengklaim telah membangun pabrik vaksin Corona terbesar di dunia dengan kapasitas produksi 100 juta dosis per tahun.

Adapun salah satu kandidat paling menjanjikan di negara itu adalah buatan Sinovac Biotech yang berbasis di Beijing. Ilmuwan perusahaan itu mengklaim sudah berhasil uji vaksin Corona pada monyet dan berlanjut ke manusia.

Konspirasi Senjata Biologis, Fakta atau Fiksi?

Pandemi COVID-19 diwarnai dengan berbagai isu termasuk konspirasi kontroversial yang menyebutnya sebagai senjata biologis. Faktanya, apakah pernah ada penggunaan bioweapon di kehidupan nyata?
Senjata biologi atau biological weapon merupakan senjata yang menggunakan patogen (bakteri, virus, atau organisme penghasil penyakit lainnya) sebagai alat untuk membunuh, melukai, atau melumpuhkan musuh. Nah, dalam pengertian yang lebih luas, bioweapon bukan hanya berupa virus atau bakteri, tapi juga toksin berbahaya yang dihasilkan oleh organisme tertentu.

Bioweapon tidak hanya dilakukan pada zaman sekarang. Ini sudah dikenal sejak dulu ketika perang menggunakan panah yang dicelupkan ke racun. Contoh lain, mengutip Emedicine Health, dalam Pertempuran Eurymedon pada 190 SM, Hannibal memenangi kemenangan angkatan laut atas Raja Eumenes II dari Pergamon dengan menembakkan ular berbisa ke kapal-kapal musuh.

Di era modern, Perang Dunia II (WWII) beberapa negara memiliki program aktif untuk pengembangan senjata biologis untuk peperangan. Negara tersebut di antaranya Inggris, Kanada, Jerman, Jepang, Uni Soviet, dan Amerika Serikat. Namun, pada 1969, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Richard Nixon memutuskan menghentikan ini setelah menyetujui The Biological and Toxin Weapons Convention (BTWC).

Melansir laman Nuclear Threat Initiative, Konvensi Senjata Biologis dan Toksin atau BTWC adalah perjanjian multilateral pertama yang secara tegas melarang kelas senjata tertentu. Perjanjian itu melarang pengembangan, penimbunan, produksi, atau transfer agen biologis dan racun dari jenis dan jumlah yang tidak memiliki pembenaran untuk penggunaan perlindungan.

Lebih jauh, perjanjian itu melarang pengembangan senjata, peralatan, atau sistem pengiriman untuk menyebarluaskan agen (zat) atau racun tersebut. Konvensi ini ditandatangani di London, Moskow, dan Washington oleh lebih dari 100 negara yang berpartisipasi pada 10 April 1972. Untuk membaca lebih detail mengenai isi konvensi tersebut Anda bisa mengklik di SINI.

Kesimpulannya, senjata biologis secara historis pernah ada dan dilakukan dalam peperangan. Namun, di era modern, senjata biologis sudah dilarang dalam sebuah kesepakatan perjanjian internasional.
https://indomovie28.com/cast/ming-tsai/