Rabu, 06 Mei 2020

Lagi Ngetren, Ini Plus Minus Masker Scuba Dibanding Masker Katun

Masker scuba menjadi salah satu tren baru di tengah pandemi virus Corona COVID-19. Jenis masker kain yang satu ini memang cukup nyaman karena elastis mengikuti bentuk wajah dan murah meriah. Meski begitu, masker berbahan dasar scuba ini tak lepas dari kekurangan.
Desainer Vivi Zubedi mengatakan ada plus minus dari penggunaan masker yang berbahan dasar scuba dibandingkan dengan masker katun, yaitu bisa dilihat dari segi penyerapannya.

"Lebih kepada segi penyerapannya, mungkin kalau bahan katun kalau kita bersin dari dalam dan mengeluarkan cairan mudah untuk menyerapnya, dari segi antibakterinya dan sebagainya itu lebih direkomendasikan," ujar Vivi saat dihubungi detikcom, Senin (4/5/2020).

Vivi yang juga pernah merancang busana berbahan scuba, memberikan contoh pemakaian ketika perempuan mengalami keputihan, celana dalam dari bahan katun lebih disarankan dokter dibanding dengan berbahan dasar scuba.

"Contoh orang yang keputihan pasti dokter melarang memakai celana dalam selain berbahan katun, karena memang bahan katun itu kebanyakan lebih cepat menyerap dan (dingin) jadi sirkulasi udara jalan," ujarnya.

"Tetapi untuk scuba ini keringatnya tidak menyerap, ketika menjadi pakaian dalam menjadi berpeluh banget, sehingga memakai masker scuba ini cairan tidak terlalu terserap daripada masker katun," tambahnya.

Ia menjelaskan, masker yang berbahan dasar dari kain scuba ini termasuk lambat untuk menyerap air dibandingkan dengan kain katun. Misalnya, bekas tumpahan air di atas kain katun akan langsung terlihat dan merasa basah, tetapi beda dengan scuba, air yang tumpah di bahan ini akan lebih dulu menggenang sebelum akhirnya menyerap.

Para pakar kesehatan mengakui, kemampuan filtrasi masker kain pada umumnya memang tidak sebagus masker medis. Demikian juga masker scuba. Namun selama tetap dibarengi dengan physical distancing dan sering mencuci tangan, maka masker apapun tetap bisa membantu mencegah virus Corona.

Ilmuwan Ungkap Mutasi Virus Corona yang Bikin Orang Terinfeksi Dua Kali

Sebuah studi baru yang dipimpin oleh para ilmuwan di Los Alamos National Laboratory dari Amerika Serikat (AS) mengungkap jenis mutasi virus Corona COVID-19 yang mendominasi di seluruh dunia. Selain diyakini lebih cepat menyebar, jenis mutasi ini pun disebut sebagai penyebab seseorang rentan terinfeksi Corona kembali usai dinyatakan sembuh.
Melansir Los Angeles Times, para ilmuwan tersebut mengatakan jenis atau strain Corona ini muncul pada Februari di Eropa, lalu bermigrasi dengan cepat ke Pantai Timur Amerika Serikat. Laporan ini sudah diposting pada Kamis lalu di BioRxiv, sebuah situs web yang digunakan para peneliti untuk membagikan hasil kerja mereka sebelum ditinjau oleh rekan kerja, suatu upaya untuk mempercepat kolaborasi dengan para ilmuwan yang mengerjakan vaksin atau perawatan COVID-19.

Sebagian besar, penelitian itu didasarkan pada urutan genetik dari strain sebelumnya. Disebutkan, di mana pun strain ini muncul, virus itu dengan cepat menginfeksi lebih banyak orang daripada strain sebelumnya yang berasal dari Wuhan, China.

Meski belum diketahui pasti penyebabnya, dominasi strain baru dibanding pendahulunya menunjukkan bahwa strain ini lebih cepat menular. Hingga kini virus Corona sudah menginfeksi lebih dari 3,5 juta orang di seluruh dunia, dan lebih dari 250 ribu kasus dilaporkan meninggal dunia.

Laporan ini berdasarkan analisis komputasi pada lebih dari 6 ribu urutan virus Corona dari seluruh dunia yang dikumpulkan oleh Global Initiative for Sharing All Influenza Data (GISAID), sebuah organisasi publik swasta di Jerman. Berkali-kali, analisis menemukan bahwa strain ini sedang menyebar menjadi dominan.

Sementara itu, tim Los Alamos dibantu oleh para ilmuwan di Universitas Duke dan Universitas Sheffield di Inggris, mengidentifikasi 14 mutasi. Mutasi-mutasi itu terjadi di antara hampir 30 ribu pasangan basa RNA yang menurut ilmuwan lain merupakan genom dari virus Corona. Penulis laporan berfokus pada mutasi yang disebut D614G, yang disebut membuat adanya lonjakan virus Corona di beberapa negara.

Selasa, 05 Mei 2020

Risiko Penggumpalan Darah Bayangi Pasien Virus Corona

Saat virus Corona COVID-19 menginfeksi tubuh, terlihat beberapa gejala pernapasan yang menyerang tubuh, salah satunya pneumonia. Tetapi, kini ada bahaya baru yang mengintai para pasien, yaitu penggumpalan darah.

Para dokter mulai memperhatikan fenomena penggumpalan darah tersebut, yang lebih sering terjadi pada pasien yang terinfeksi virus. Gumpalan ini banyak juga ditemukan pada pasien Corona usia muda, yang bisa menyebabkan stroke hingga kematian mendadak.

"Kami melihat adanya pembekuan darah dalam tubuh pasien ini, yang sebelumnya belum pernah kami temui. Mungkin fenomena ini mulai muncul satu atau dua bulan terakhir," kata Mitchell Levy, kepala perawatan paru-paru dan obat tidur di Warren Albert School of Medicine.

Penggumpalan darah ini bisa terjadi di mana saja, seperti jantung, hati, dalam kateter arteri pasien, dan filter yang mendukung gagal ginjal. Tetapi, yang dianggap paling parah jika terjadi di paru-paru.

Mengutip dari Fox News, itu bisa menghambat aliran darah. Selain itu, seorang profesor kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Yale, Margaret Pisani, mengatakan kondisi ini juga bisa membuat pasien Corona kekurangan oksigen.

Hooman Poor, ahli paru-paru di Rumah Sakit Mount Sinai di New York mengatakan bahwa pada 14 pasiennya yang menggunakan ventilator, darahnya tidak mengalir dengan baik melalui paru-paru. Hal itu dipastikannya terjadi karena adanya penggumpalan darah.

"Saya merasa semua pasien COVID-19 mengalami penggumpalan darah di paru-paru mereka," katanya.

Gumpalan darah yang terjadi pada paru-paru juga bisa menyebabkan tekanan yang luar biasa pada jantung, akibatnya henti jantung bisa terjadi. Edwin van Beek, Ketua radiologi klinis di Queen's Medical Research Institute, Edinburgh University, mengatakan hal ini banyak terjadi pada pasien yang dirawat menggunakan ventilator.

Tanzania Ragukan Test Kit Impor Gara-gara Kambing-Pepaya Positif Corona

 Presiden Tanzania John Magufuli menolak alat tes virus Corona impor karena menunjukkan hasil positif pada sampel yang diambil dari kambing dan pepaya.
Dikutip dari Al Jazeera, dalam sebuah acara di Chato di barat laut Tanzania pada hari Minggu (3/4/2020), Magufuli mengatakan ada kesalahan teknis dengan tes itu.

Dia mengaku telah memeriksa kualitas alat tes. Mereka mendapatkan beberapa sampel acak dari sumber non manusia termasuk pepaya, kambing, dan domba.

Sampel-sampel ini kemudian diserahkan ke laboratorium Tanzania untuk diuji kebenarannya oleh teknisi lab yang sebelumnya sengaja tidak diberitahu.

Magufuli mengatakan beberapa orang yang dites dan dinyatakan positif kemungkinan tidak terinfeksi virus, karena menurut sampel itu pepaya dan kambing pun dinyatakan positif COVID-19.

"Ada sesuatu yang terjadi. Saya katakan sebelumnya kita seharusnya tidak menerima setiap bantuan yang dimaksudkan untuk kebaikan bagi bangsa ini," kata Magufuli.

Pemerintah Tanzania sempat menuai kritik dari masyarakat karena merahasiakan wabah virus corona dan sebelumnya meminta masyarakat berdoa agar virus itu pergi.

Pada hari Sabtu, Magufuli mengumumkan bahwa ia telah memesan obat herbal untuk pasien virus corona yang digembar-gemborkan oleh Presiden Madagaskar.

"Saya sudah menulis surat kepada Presiden Madagaskar dan kami akan segera mengirimkan sebuah pesawat untuk mengambil obat, sehingga Tanzania juga mendapatkan manfaat obatnya," kata dia.

Obat herbal yang disebut Covid Organics ini disiapkan oleh Institut Malagasi untuk Penelitian Terapan, dibuat dari tanaman Artemisia yang dibudidayakan di pulau Samudra Hindia di Madagaskar.

Meskipun kurang bukti ilmiah, Presiden Madagaskar Andry Rajoelina mengklaim bahwa obat ini telah menyembuhkan beberapa orang positif COVID-19 di Madagaskar.