Masker scuba menjadi salah satu tren baru di tengah pandemi virus Corona COVID-19. Jenis masker kain yang satu ini memang cukup nyaman karena elastis mengikuti bentuk wajah dan murah meriah. Meski begitu, masker berbahan dasar scuba ini tak lepas dari kekurangan.
Desainer Vivi Zubedi mengatakan ada plus minus dari penggunaan masker yang berbahan dasar scuba dibandingkan dengan masker katun, yaitu bisa dilihat dari segi penyerapannya.
"Lebih kepada segi penyerapannya, mungkin kalau bahan katun kalau kita bersin dari dalam dan mengeluarkan cairan mudah untuk menyerapnya, dari segi antibakterinya dan sebagainya itu lebih direkomendasikan," ujar Vivi saat dihubungi detikcom, Senin (4/5/2020).
Vivi yang juga pernah merancang busana berbahan scuba, memberikan contoh pemakaian ketika perempuan mengalami keputihan, celana dalam dari bahan katun lebih disarankan dokter dibanding dengan berbahan dasar scuba.
"Contoh orang yang keputihan pasti dokter melarang memakai celana dalam selain berbahan katun, karena memang bahan katun itu kebanyakan lebih cepat menyerap dan (dingin) jadi sirkulasi udara jalan," ujarnya.
"Tetapi untuk scuba ini keringatnya tidak menyerap, ketika menjadi pakaian dalam menjadi berpeluh banget, sehingga memakai masker scuba ini cairan tidak terlalu terserap daripada masker katun," tambahnya.
Ia menjelaskan, masker yang berbahan dasar dari kain scuba ini termasuk lambat untuk menyerap air dibandingkan dengan kain katun. Misalnya, bekas tumpahan air di atas kain katun akan langsung terlihat dan merasa basah, tetapi beda dengan scuba, air yang tumpah di bahan ini akan lebih dulu menggenang sebelum akhirnya menyerap.
Para pakar kesehatan mengakui, kemampuan filtrasi masker kain pada umumnya memang tidak sebagus masker medis. Demikian juga masker scuba. Namun selama tetap dibarengi dengan physical distancing dan sering mencuci tangan, maka masker apapun tetap bisa membantu mencegah virus Corona.
Ilmuwan Ungkap Mutasi Virus Corona yang Bikin Orang Terinfeksi Dua Kali
Sebuah studi baru yang dipimpin oleh para ilmuwan di Los Alamos National Laboratory dari Amerika Serikat (AS) mengungkap jenis mutasi virus Corona COVID-19 yang mendominasi di seluruh dunia. Selain diyakini lebih cepat menyebar, jenis mutasi ini pun disebut sebagai penyebab seseorang rentan terinfeksi Corona kembali usai dinyatakan sembuh.
Melansir Los Angeles Times, para ilmuwan tersebut mengatakan jenis atau strain Corona ini muncul pada Februari di Eropa, lalu bermigrasi dengan cepat ke Pantai Timur Amerika Serikat. Laporan ini sudah diposting pada Kamis lalu di BioRxiv, sebuah situs web yang digunakan para peneliti untuk membagikan hasil kerja mereka sebelum ditinjau oleh rekan kerja, suatu upaya untuk mempercepat kolaborasi dengan para ilmuwan yang mengerjakan vaksin atau perawatan COVID-19.
Sebagian besar, penelitian itu didasarkan pada urutan genetik dari strain sebelumnya. Disebutkan, di mana pun strain ini muncul, virus itu dengan cepat menginfeksi lebih banyak orang daripada strain sebelumnya yang berasal dari Wuhan, China.
Meski belum diketahui pasti penyebabnya, dominasi strain baru dibanding pendahulunya menunjukkan bahwa strain ini lebih cepat menular. Hingga kini virus Corona sudah menginfeksi lebih dari 3,5 juta orang di seluruh dunia, dan lebih dari 250 ribu kasus dilaporkan meninggal dunia.
Laporan ini berdasarkan analisis komputasi pada lebih dari 6 ribu urutan virus Corona dari seluruh dunia yang dikumpulkan oleh Global Initiative for Sharing All Influenza Data (GISAID), sebuah organisasi publik swasta di Jerman. Berkali-kali, analisis menemukan bahwa strain ini sedang menyebar menjadi dominan.
Sementara itu, tim Los Alamos dibantu oleh para ilmuwan di Universitas Duke dan Universitas Sheffield di Inggris, mengidentifikasi 14 mutasi. Mutasi-mutasi itu terjadi di antara hampir 30 ribu pasangan basa RNA yang menurut ilmuwan lain merupakan genom dari virus Corona. Penulis laporan berfokus pada mutasi yang disebut D614G, yang disebut membuat adanya lonjakan virus Corona di beberapa negara.